Koruptor Korban KPK: Sekadar Logika Miring DPR, Panik, atau Bentuk Kekacauan Fungsi Otak?

ANGGOTA Komisi I DPR sekaligus Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agun Gunandjar didampingi sejumlah anggotanya memberi keterangan kepada wartawan saat keluar dari Lapas Kelas 1A Sukamiskin, Jalan AH Nasution, Kota Bandung, Kamis (6/7/2017). Kehadiran Pansus Hak Angket KPK di Lapas Sukamiskin ini untuk meminta keterangan dari sejumlah narapidana korupsi terkait prosedur penegakan hukum KPK. 


DELAPAN belas jam lalu saya membaca satu berita di media daring dan rasa terkejutnya tetap terasa sampai sekarang. Keterkejutan yang kemudian mencuatkan tiga pertanyaan di benak saya.

Berita itu adalah perihal kunjungan sejumlah anggota Tim Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Kunjungan ini menghasilkan kesimpulan awal bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran. Bahwa di antara orang-orang yang sekarang dipenjarakan karena kasus korupsi itu ada yang menyebut KPK telah melakukan mekanisme kerja hukum yang keliru. Dengan kata lain, koruptor-koruptor tersebut merasa menjadi korban kesalahan KPK.
Dari sinilah mencuat tiga pertanyaan tadi. Koruptor korban KPK, apakah sekadar merupakan logika miring, panik, atau bentuk kekacauan fungsi otak?
KPK tentu saja bisa salah. Sangat bisa, malah. KPK bukan lembaga bentukan Tuhan yang berisi malaikat-malaikat yang hanya punya otak tanpa nafsu dan otaknya telah dirancang sedemikian rupa untuk senantiasa memikirkan hal-hal yang baik dan mulia. KPKbentukan manusia dan berisi manusia-manusia yang kodratnya tak pernah sempurna dan tiada dapat luput pula dari kesalahan.
Jika demikian, bukankah berarti kesimpulan awal tim Pansus Hak Angket tidak salah? Memang tidak, dengan catatan, jika memakai logika miring. Logika jungkirbalik. Barangkali mirip-mirip logika ala Cak Lontong.
Pertanyaan selanjutnya, di mana letak miringnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah sejenak kita layangkan ingatan ke Si Mamad, film garapan Sjuman Djaja di tahun 1973.
Jika Anda tidak pernah menonton filmnya dan juga tidak pernah membaca cerita aslinya, The Death of Goverment Clerk, yang ditulis Anton Chekov, maka janganlah menertawakan Mamad yang meninggal dunia karena hantaman psikologis, tertekan akibat rasa bersalah dan berdosa, setelah tanpa seizin atasan mengambil kertas ketik bekas dari kantor dan menjualnya ke tukang loak untuk membayar ongkos bersalin istrinya.
Janganlah tertawa karena merasa konyol sebab memang begitulah cara Mamad (atau Ivan Dmitritch Tchervyakov dalam cerita Chekov) menemui ajalnya. Memang cuma kertas ketik bekas yang bahkan di tahun 1973 pun hitung-hitungan rupiahnya tetap saja tak seberapa. Namun Mamad merasa sangat bersalah. Mereka sangat terhina lantaran menggadaikan kejujuran. Mamad tidak dapat memaafkan dirinya yang telah memiliki niat untuk berbuat curang, berbuat tak jujur, dan kemudian melaksanakan niatnya itu.
Koruptor belum disebut koruptor sepanjang belum ditangkap, karena sebelum tertangkap mereka pejabat, kata Cak Lontong. Si Mamad tidak ditangkap. Tidak diadili. Dilaporkan ke polisi pun tidak. Bahkan atasannya juga tidak mempersoalkan. Saat Mamad menghadap dan memberitahukan perbuatannya, sang atasan memaafkan, lalu menertawakan Mamad. Dia dianggap aneh dan --entah barangkali-- kelewat tolol.
Orang seperti Mamad barangkali memang tidak ada lagi setelah Tuhan memutuskan berhenti menurunkan nabi dan rasul dan melangkakan keberadaan para wali. Barangkali ini sekadar mimpi hiperbolik Chekov dan Sjuman Djaja.
Akan tetapi, perkara kejujuran bolehlah tetap kita garisbawahi. Korupsi bisa saja tidak terjadi meski ada kesempatan. Namun korupsi pasti terjadi apabila ada niat.
Persoalannya, adakah koruptor yang mau jujur mengakui bahwa mereka memiliki niat korupsi? Sepertinya tidak. Sebab jika jujur, tentunya mereka tidak akan gegap gempita menyambut hak angket gagasan DPR, yakni satu langkah politik yang terang-terangan bertujuan mempereteli kewenangan-kewenangan KPK dan membuatnya jadi impoten. Sebab jika jujur, tentunya penjara akan membuat mereka malu berkoar-koar.
Kita tahu faktanya tidak demikian. Para koruptor, sebaliknya, justru tetap merasa gagah, tetap merasa terhormat, tetap merasa dibutuhkan. Bahkan ada beberapa yang tetap saja merasa suci. Sehingga tak sedikit pun tersisa rasa malu pada mereka atas label narapidana (atau bekas narapidana) kasus korupsi. Mereka masih sanggup tampil di depan umum. Masih sanggup berkotbah tentang moral, tentang dosa, tentang surga dan neraka, tentang Tuhan.
Di lain sisi, kengototan para anggota DPR menggeber hak angket boleh dicurigai sebagai bentuk kepanikan. Jika tak panik, mereka pasti tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang mengangkangi logika dan kewarasan berpikir.
Bagaimana mungkin mereka bisa datang ke penjara lalu berbicara dengan orang-orang yang telah mendapatkan keputusan hukum yang bersifat tetap dari lembaga yang sah? Bukankah orang-orang ini dibui telah menggunakan seluruh haknya untuk membela diri?
Proses praperadilan, misalnya. Bukankah apabila KPK melakukan kesalahan prosedural pengadilan akan menggugurkan tuntutan dan membebaskan tertuduh? Pun apabila pengadilan ternyata juga ikut bersalah, bukankah masih ada upaya banding dan kasasi? Jika semua mekanisme ini sudah dilewati dan menghasilkan keputusan incracht, seyogianya tak ada lagi yang perlu dipertanyakan dan diragukan, bukan?
Ketika sekarang para anggota DPR ramai-ramai datang ke penjara untuk meminta kesaksian para narapidana dan kemudian dengan enteng menyebut KPK telah bertindak di luar prosedur, maka kecurigaan memang patut dialamatkan pada mereka. Barangkali memang panik lantaran belakangan sepak terjang KPK makin menggetarkan dan sewaktu-waktu dapat menyasar dan menjerat mereka.
Kepanikan ini mungkin pula berimbas pada kekacauan fungsi otak. Sebagaimana Si Mamad, mereka tidak bisa lagi berpikir jernih. Bedanya, Mamad memilih mati untuk menebus dosa. Mereka tidak.(t agus khaidir)

Comments

Popular posts from this blog

Betulkah Farkhan Gunawan Cowok Hanna Annisa Kuliah di ITB ? Tunggu Konfirmasi Polisi Ya

Medan Kembali Dilanda Oleh Banjir Dan Menimbulkan Korban !!!

Geger dengan Vidio Panas 2 Versi, Begini Cara Hanna Anisa Mahasiswi UI Minta Maaf